Minggu, 27 Mei 2012

HUKUM PERIKATAN


A.    Pengertian Hukum Perikatan

Perikatan dalam hal ini berarti hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.

Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law).

Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.

Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
Pengertian perikatan menurut Hofmann adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau pada debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu  terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.

B.    Dasar Hukum Perikatan

Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut:
1.    Perikatan yang timbul dari persetujuan ( perjanjian )
2.    Perikatan yang timbul dari undang-undang
3.    Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )

Sumber perikatan berdasarkan undang-undang:
1.     Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2.    Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3.    Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.

C.    Azas – Azas Hukum Perikatan

Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.

-    Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

-    Asas konsensualisme
Asas konsensualisme artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.

D.    Wanprestasi

Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak yang dirugikan. Tetapi adakalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak atau debitur.
Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat
memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa.

Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu :
1.    Tidak memenuhi prestasi sama sekali;
Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2.    Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya;
Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
3.    Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.
Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.

Sedangkan menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu[3]:
1.    Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
2.     Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya;
3.    Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4.    Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu perjanjian, kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang diperjanjikan.
Dalam hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian yang berupa tidak berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan wanprestasi yaitu sejak pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam perjanjian maka menurut pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur yang diberikan kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut dengan somasi.

E.    Hapusnya Perikatan

Menurut ketentuan pasal 1381 KUHP, ada sepuluh cara hapusnya perikatan, yaitu:
1.    Karena pembayaran
2.    Karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
3.    Karena adanya pembaharuan hutang
4.    Karena percampuran hutang
5.    Karena adanya pertemuan hutang
6.    Karena adanya pembebasan hutang
7.    Karena musnahnya barang yang terhutang
8.    Karena kebatalan atau pembatalan
9.    Karena berlakunya syarat batal
10.    Karena lampau waktu.

Sumber :

http://dhonyaditya.wordpress.com/2012/04/11/hukum-perikatan/
http://dinar3anggraini.blogspot.com/2012/04/hukum-perikatan.html
http://yogiikhwan.wordpress.com/2008/03/20/wanprestasi-sanksi-ganti-kerugian-dan-keadaan-memaksa/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar